Harga Rp.75.000 = Ongkir
Sold Out
Sold Out
1.Asal-Usul.
Menginang adalah kegiatan mengunyah daun sirih yang dicampur dengan kapur, buah pinang dan tembakau yang digulung sebesar bola tenis meja.[1] Panginangan dalam kebudayaan Banjar berfungsi sebagai salah satu cara untuk menghormati tamu, baik dalam acara-acara adat seperti perkawinan maupun dalam kehidupan sehari-hari (Triatno et al., 1994/1995). Panginangan, yang umumnya dalam kebudayaan Melayu disebut tepak sirih,
berhubungan erat dengan kebiasaan menginang atau menyirih (Mahyudin Al
Mudra, 2006). Kebiasaan ini konon telah dilakukan oleh umumnya
masyarakat Melayu sejak ribuan tahun silam. Para pelancong dan peneliti
Eropa yang pernah singgah ke nusantara juga memberikan kesaksian bahwa
kebiasaan menginang atau menyirih dilakukan baik oleh kalangan bangsawan
maupun rakyat biasa (http://melayuonline.com/ensiclopedy/?a=SnN1L2cveVRteDdaM2dl=&l=menginang-atau-menyirih).
Menginang memiliki sebutan yang berbeda-beda di beberapa kabupaten di Kalimantan Selatan. Di kalangan suku Bukit yang hidup di Kabupaten Kotabaru, menginang disebut Lahup. Sebutan tipa atau panimpaan untuk menginang digunakan oleh suku Bukit yang tinggal di Kabupaten Tapin. Suku Mandar yang hidup di Kabupaten Kotabaru menyebut menginang sebagai pattaruang. Sementara itu, Suku Bugis yang tinggal di Kabupaten Kotabaru menyebut menginang sebagai atotang ((Triatno et al., 1994/1995).
Kapan tradisi menginang dikenal oleh masyarakat Banjar tidak dapat diketahui secara pasti. Menurut cerita yang berkembang di masyarakat Banjar, pada masa pendudukan Jepang di Indonesia (1942-1945), banyak orangtua Banjar yang melumuri wajah anak gadis mereka dengan cairan bekas kunyahan sirih pinang yang berwarna merah kehitaman itu agar terlihat buruk. Hal ini dimaksudkan agar anak gadis mereka tidak diambil oleh tentara Jepang (Triatno et al., 1994/1995:14).
Panginangan sebagai alat menginang tidaklah berdiri sendiri. Panginangan selalu disertai dengan alat-alat lainnya seperti kacip (untuk mengupas dan memotong buah pinang), tutukan atau lesung sirih (untuk melumatkan kapur, daun sirih, atau buah pinang; biasanya, alat ini digunakan oleh orangtua yang giginya sudah tidak kuat), dan paludahan atau pangucuran (wadah untuk membuang ludah setelah menginang) (http://melayuonline.com/ind/culture/dig/1703).
Panginangan orang Banjar dibuat dalam berbagai bentuk sesuai dengan asal panginangan tersebut. Misalnya, panginangan asal Martapura yang berbentuk kotak segi empat biasa berbeda bentuk dan bahannya dengan panginangan asal Kabupaten Hulu Selatan yang berbentuk burung. Perbedaan bentuk dan bahan ini juga dimungkinkan karena pemiliknya berbeda. Panginangan milik raja atau bangsawan biasanya terbuat dari kuningan, perak, atau emas. Sementara itu, panginangan milik rakyat biasa umumnya terbuat dari kayu, anyaman bambu, atau rotan.
2. Bahan yang Digunakan
a. Panginangan bokor
Panginangan bokor sering digunakan dalam upacara adat perkawinan dan ritual bawanang pada suku Bukit di Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Panginangan ini memiliki tiga bentuk berbeda yang masing-masing unik dan memuat nilai seni tersendiri. Ketiga bentuk panginangan ini adalah sebagai berikut:
Menginang memiliki sebutan yang berbeda-beda di beberapa kabupaten di Kalimantan Selatan. Di kalangan suku Bukit yang hidup di Kabupaten Kotabaru, menginang disebut Lahup. Sebutan tipa atau panimpaan untuk menginang digunakan oleh suku Bukit yang tinggal di Kabupaten Tapin. Suku Mandar yang hidup di Kabupaten Kotabaru menyebut menginang sebagai pattaruang. Sementara itu, Suku Bugis yang tinggal di Kabupaten Kotabaru menyebut menginang sebagai atotang ((Triatno et al., 1994/1995).
Kapan tradisi menginang dikenal oleh masyarakat Banjar tidak dapat diketahui secara pasti. Menurut cerita yang berkembang di masyarakat Banjar, pada masa pendudukan Jepang di Indonesia (1942-1945), banyak orangtua Banjar yang melumuri wajah anak gadis mereka dengan cairan bekas kunyahan sirih pinang yang berwarna merah kehitaman itu agar terlihat buruk. Hal ini dimaksudkan agar anak gadis mereka tidak diambil oleh tentara Jepang (Triatno et al., 1994/1995:14).
Panginangan sebagai alat menginang tidaklah berdiri sendiri. Panginangan selalu disertai dengan alat-alat lainnya seperti kacip (untuk mengupas dan memotong buah pinang), tutukan atau lesung sirih (untuk melumatkan kapur, daun sirih, atau buah pinang; biasanya, alat ini digunakan oleh orangtua yang giginya sudah tidak kuat), dan paludahan atau pangucuran (wadah untuk membuang ludah setelah menginang) (http://melayuonline.com/ind/culture/dig/1703).
Panginangan orang Banjar dibuat dalam berbagai bentuk sesuai dengan asal panginangan tersebut. Misalnya, panginangan asal Martapura yang berbentuk kotak segi empat biasa berbeda bentuk dan bahannya dengan panginangan asal Kabupaten Hulu Selatan yang berbentuk burung. Perbedaan bentuk dan bahan ini juga dimungkinkan karena pemiliknya berbeda. Panginangan milik raja atau bangsawan biasanya terbuat dari kuningan, perak, atau emas. Sementara itu, panginangan milik rakyat biasa umumnya terbuat dari kayu, anyaman bambu, atau rotan.
2. Bahan yang Digunakan
Bahan-bahan untuk membuat panginangan terdiri dari beberapa macam, yaitu paring
tali (bambu yang dibelah-belah tipis lalu dianyam), paikat (rotan),
kayu, kuningan, perak, emas, dan lain-lain. Bambu dan rotan diperoleh
dari hutan Kalimantan Selatan sementara emas, kuningan, dan perak
biasanya diperoleh dari daerah luar Kalimantan Selatan. Bahan-bahan ini
dirakit menjadi panginangan secara tradisional, yaitu masih menggunakan
tangan manusia dan bukannya menggunakan mesin.
3. Bentuk dan Ornamen
3. Bentuk dan Ornamen
Panginangan dapat dibedakan menurut bentuknya. Bentuk-bentuk panginangan adalah sebagai berikut.
a. Panginangan bokor
Panginangan bokor sering digunakan dalam upacara adat perkawinan dan ritual bawanang pada suku Bukit di Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Panginangan ini memiliki tiga bentuk berbeda yang masing-masing unik dan memuat nilai seni tersendiri. Ketiga bentuk panginangan ini adalah sebagai berikut:
- Panginangan yang memiliki bentuk wadah bundar tinggi. Pada panginangan jenis ini, tempat daun sirih berbentuk kerucut terpotong. Tempat pinang dan gambir berbentuk bulat berkaki sedangkan tempat kapur berbentuk silinder. Bahan panginangan ini terbuat dari kuningan dan ornamennya berupa motif floral, belah ketupat, dan gigi haruan.
- Panginangan dengan bentuk wadah bundar tinggi. Pada bagian tengah di sisi dalamnya terdapat tempat gambir dan pinang yang diberi tutup berbentuk bulat. Tempat kapur berbentuk silinder sedangkan tempat tembakau berbentuk bulat dan diberi tutup serta memiliki tiang kecil. Bahan panginangan terbuat dari kuningan dan memiliki dekorasi ukir dengan ornamen motif floral, gigi haruan, geometris, dan mata titik.
- Panginangan dengan bentuk wadah bundar tinggi dan alas pipih bundar. Bagian atas wadah dibentuk menjadi lekukan bergerigi seperti kelopak bunga. Pada bagian dalamnya, terdapat anak panginangan untuk tempat sirih yang berbentuk kerucut terpotong. Tempat pinang berbentuk bulat berkaki dan memiliki tutup. Tempat kapur berbentuk silinder. Tempat tembakau berbentuk bulat dan memiliki tutup yang bertangkai atas dan bawahnya. Bahan panginangan dari kuningan dan terdapat ornamen motif geometris, tumpal, gigi haruan, dan bunga.
Panginangan
buai biasa digunakan untuk upacara adat kehamilan pertama ketika umur
kandungan menjelang tujuh bulan. Panginangan ini memiliki bentuk wadah
bulat dan diberi tutup. Pada bagian tengah wadah, terdapat tangkai
sebagai pegangan yang dikelilingi oleh wadah-wadah kecil kinangan, yaitu
wadah sirih berbentuk kerucut dan bersegi, wadah pinang dan gambir
berbentuk bulat dan bertutup, dan wadah kapur berbentuk silinder. Bahan
panginangan ini dari kuningan dan memiliki dekorasi berupa ornamen motif
swastika, gigi haruan, bintik-bintik, dan floral.
c. Panginangan segi delapan
c. Panginangan segi delapan
Panginangan
ini memiliki bentuk wadah segi delapan dan memiliki tutup. Pada bagian
dalam panginangan ini, terdapat wadah-wadah kinangan (yaitu wadah daun
sirih berbentuk kerucut dan bersegi), wadah kapur berbentuk buah
manggis, dan wadah pinang dan gambir berbentuk bulat bersegi. Seluruh
wadah kinangan tersebut memiliki tangkai pegangan. Bahannya kuningan dan
memiliki dekorasi berupa ornamen cetak ukir bermotif tumpal, gores,
bintik-bintik, swastika, dan gigi haruan.
d. Panginangan burung
d. Panginangan burung
Panginangan
ini memiliki bentuk wadah seperti seekor burung yang sedang duduk. Pada
bagian dalamnya, terdapat wadah-wadah kinangan. Tepat di bawah leher
burung adalah tempat kapur. Bagian badan burung merupakan tempat daun
sirih yang tutupnya berbentuk sayap burung. Bagian ekor disekat menjadi
tiga bagian untuk tempat gambir, pinang, dan tembakau. Bahan panginangan
ini terbuat dari kuningan dengan dekorasi ornamen motif lingkaran
kecil, flora dan garis-garis lengkung pada bagian sayap dan ekor serta
garis miring dan lengkung pada bagian pundak. Selain wadah kinangan,
panginangan inilah yang juga biasa digunakan sebagai tempat meletakkan
atau menyimpan uang dalam upacara adat.
e. Panginangan ratu
e. Panginangan ratu
Panginangan
ini memiliki bentuk wadah seperti kotak segi delapan. Pada bagian
dalamnya, terdapat wadah-wadah kecil tempat kinangan, yaitu tempat daun
sirih berbentuk bulat pipih yang memiliki dua lubang di mana bagian
bawahnya terpotong tidak simetris. Tempat kapur berbentuk silinder,
terbuat dari kaca yang dilapisi perak tipis dan memiliki tutup. Tempat
pinang, tembakau, dan gambir berbentuk lonjong dan memiliki tutup. Pada
bagian bawah kotak, terdapat kaki berbentuk empat persegi panjang
berhias bunga. Panginangan ini terbuat dari kayu yang dilapisi perak
tipis berwarna putih kehitaman. Panginangan ratu biasanya digunakan
sebagai pelengkap upacara adat perkawinan Kerajaan Banjar.
4. Proses Pembuatan
4. Proses Pembuatan
Perbedaan
bahan dan bentuk berpengaruh pula terhadap proses pembuatan
panginangan. Perbedaan dalam proses pembuatan tersebut adalah sebagai
berikut.
a. Bahan paring tali (bambu) atau paikat (rotan)
a. Bahan paring tali (bambu) atau paikat (rotan)
Proses
pembuatan panginangan dari bahan bambu dan rotan hampir sama. Langkah
pertama dimulai dengan memilih bambu dan rotan yang agak muda dan kuat.
Setelah itu, bambu dan rotan dibelah tipis-tipis agar mudah dilekukkan dan tidak mudah patah.
Setelah belahan bambu dan rotan siap, langkah selanjutnya adalah menganyam belahan-belahan bambu dan rotan tersebut sesuai dengan bentuk yang diinginkan. Biasanya, bentuk yang banyak digemari adalah segi empat atau mirip kotak dengan ukuran panjang lebih kurang 40-50 cm dan lebar 30 cm. Ukuran ini dianggap sesuai karena dapat memuat dan menyimpan seluruh kinangan.
Setelah bentuk segi empat selesai dibuat, bagian dalam panginangan biasanya dibuat sekat-sekat agar kinangan memiliki tempat masing-masing. Hal ini untuk memudahkan orang yang menginang mengambil kinangan dan agar kinangan awet jika akan dipakai berhari-hari. Proses pembuatan sekat-sekat bagian dalam panginangan ini sama dengan pembuatan kotak panginangan pertama, namun ukurannya dibuat lebih kecil agar dapat dimasukkan ke dalam kotak panginangan yang pertama.
b. Bahan kayu
Setelah belahan bambu dan rotan siap, langkah selanjutnya adalah menganyam belahan-belahan bambu dan rotan tersebut sesuai dengan bentuk yang diinginkan. Biasanya, bentuk yang banyak digemari adalah segi empat atau mirip kotak dengan ukuran panjang lebih kurang 40-50 cm dan lebar 30 cm. Ukuran ini dianggap sesuai karena dapat memuat dan menyimpan seluruh kinangan.
Setelah bentuk segi empat selesai dibuat, bagian dalam panginangan biasanya dibuat sekat-sekat agar kinangan memiliki tempat masing-masing. Hal ini untuk memudahkan orang yang menginang mengambil kinangan dan agar kinangan awet jika akan dipakai berhari-hari. Proses pembuatan sekat-sekat bagian dalam panginangan ini sama dengan pembuatan kotak panginangan pertama, namun ukurannya dibuat lebih kecil agar dapat dimasukkan ke dalam kotak panginangan yang pertama.
b. Bahan kayu
Langkah
pertama adalah memilih kayu jati yang baik, yaitu yang memiliki
serat-serat halus. Serat yang halus sangat penting karena dapat
memudahkan dalam pemberian ornamen, khususnya ketika diukir. Setelah
serat yang halus dipilih, kayu kemudian dibelah-belah seperti papan dan
selanjutnya dipotong-potong sesuai kebutuhan.
Setelah terbentuk potongan sesuai yang diinginkan, potongan kayu kemudian dirangkai menjadi kotak panginangan. Pada bagian dalam kotak, dibuat sekat-sekat untuk memisahkan tempat-tempat untuk kinangan. Tentu saja hal ini dimaksudkan agar kinangan tidak bercampur dan agar mudah mencari serta menyimpannya.
Setelah kotak terbentuk dengan sekat-sekatnya, kotak lalu dihias dengan ornamen yang diinginkan. Motif ornamen yang diukir biasanya garis-garis lurus dan floral.
c. Bahan kuningan, perak atau emas
Setelah terbentuk potongan sesuai yang diinginkan, potongan kayu kemudian dirangkai menjadi kotak panginangan. Pada bagian dalam kotak, dibuat sekat-sekat untuk memisahkan tempat-tempat untuk kinangan. Tentu saja hal ini dimaksudkan agar kinangan tidak bercampur dan agar mudah mencari serta menyimpannya.
Setelah kotak terbentuk dengan sekat-sekatnya, kotak lalu dihias dengan ornamen yang diinginkan. Motif ornamen yang diukir biasanya garis-garis lurus dan floral.
c. Bahan kuningan, perak atau emas
Proses
pembuatan panginangan dari bahan kuningan, perak, atau emas memiliki
kesamaan. Pertama cetakan panginangan dibuat sesuai dengan bentuk yang
diinginkan. Cetakan (limbagan) dibuat dari lilin yang dibungkus dengan
tanah liat dan dicampur dengan pasir. Cetakan dibuat dengan memberi
lubang (seperti tempat keluar pada ceret atau teko air).
Setelah cetakan jadi, selanjutnya dibakar untuk mengeluarkan lilinnya. Jika lilin sudah dikeluarkan, selanjutnya dimasukkan cairan kuningan, emas, atau perak sampai penuh di dalam cetakannya. Selang beberapa lama (kurang lebih 0,5-1 jam), cetakan didinginkan dengan disiram air agar cetakan tersebut retak-retak sehingga mudah untuk dilepaskan dari cairan emas, perak, atau kuningan yang ada di dalam cetakan.
Jika semua cetakan tanah sudah dilepaskan semua dari cairan emas, perak, atau kuningan, maka bentuk panginangan akan terlihat. Agar terlihat bagus, maka hasil cetakan perlu dihaluskan dan dirapikan dengan kikir pada lapisan luarnya. Selain itu, agar bentuk dan modelnya lebih indah, hasil cetakan dapat diukir dengan motif-motif dan ornamen-ornamen tertentu, seperti motif bunga, daun, mata itik, tanaman, atau sekadar garis-garis melengkung.
Jika semua proses di atas selesai dilakukan, maka panginangan ini akan terlihat lebih cantik. Biasanya panginangan dari bahan emas, perak, atau kuningan ini dicetak dalam bentuk panginangan bokor, buai, segi delapan, ratu, dan burung.
5. Nilai-nilai
Setelah cetakan jadi, selanjutnya dibakar untuk mengeluarkan lilinnya. Jika lilin sudah dikeluarkan, selanjutnya dimasukkan cairan kuningan, emas, atau perak sampai penuh di dalam cetakannya. Selang beberapa lama (kurang lebih 0,5-1 jam), cetakan didinginkan dengan disiram air agar cetakan tersebut retak-retak sehingga mudah untuk dilepaskan dari cairan emas, perak, atau kuningan yang ada di dalam cetakan.
Jika semua cetakan tanah sudah dilepaskan semua dari cairan emas, perak, atau kuningan, maka bentuk panginangan akan terlihat. Agar terlihat bagus, maka hasil cetakan perlu dihaluskan dan dirapikan dengan kikir pada lapisan luarnya. Selain itu, agar bentuk dan modelnya lebih indah, hasil cetakan dapat diukir dengan motif-motif dan ornamen-ornamen tertentu, seperti motif bunga, daun, mata itik, tanaman, atau sekadar garis-garis melengkung.
Jika semua proses di atas selesai dilakukan, maka panginangan ini akan terlihat lebih cantik. Biasanya panginangan dari bahan emas, perak, atau kuningan ini dicetak dalam bentuk panginangan bokor, buai, segi delapan, ratu, dan burung.
5. Nilai-nilai
Panginangan
sebagai kreasi budaya masyarakat Banjar mengandung beragam nilai
kebudayaan dan kehidupan. Nilai-nilai tersebut adalah sebagai berikut.
- Seni. Nilai ini tercermin dari bentuk panginangan yang dibuat begitu indah dengan motif serta ornamen yang dicetak secara detil. Bentuk yang indah ini tentu saja tidak terlepas dari jiwa seni pembuatnya yang mencerminkan kebudayaan Banjar yang tinggi. Jiwa seni yang tinggi berbanding lurus dengan hasil budaya yang bernilai tinggi pula.
- Ketelitian dan kesabaran. Pembuatan panginangan dengan berbagai bentuk dan bahan menyiratkan ketelitian dan kesabaran pembuatnya. Hal ini dapat dibayangkan dari proses pembuatan yang membutuhkan ketelitian, misalnya dalam memilih bambu dan rotan serta proses penganyamannya. Ketika membuat panginangan dari bahan emas, perak, atau kuningan, diperlukan kesabaran karena harus menunggui cetakan yang sedang dibuat dan menunggu hingga hasil cetakan kering sehingga mudah dilepaskan. Proses yang panjang ini tentu saja memerlukan kesabaran dan ketelitian yang terlatih.
- Pelestarian budaya. Menginang saat ini menjadi aktivitas yang sulit lagi ditemukan di perdesaan Kalimantan Selatan. Panginangan yang semula menjadi penanda untuk menghormati tamu dalam acara-acara adat sudah jarang disediakan oleh masyarakat Banjar. Oleh sebab itu, panginangan sebagai tradisi budaya asli orang Banjar perlu dilestarikan karena memiliki nilai budaya yang penting.
Panginangan
adalah wujud kreasi masyarakat Banjar masa silam. Bentuk panginangan
yang indah dan artistik menjadikan benda ini unik dan berharga. Oleh
karena itu, panginangan sebagai sebuah benda budaya menuntut untuk
dipelihara bahkan mungkin perlu segera dipatenkan sebagai hasil budaya
orang Banjar.
(Artikel ini pernah dimuat di empuesa.blogger.com)
Referensi
- Agus Triatno dkk, 1994/1995. Panginangan koleksi museum negeri Provinsi Kalimantan Selatan Lambung Mangkurat. Kalimantan Selatan: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Bagian Pembinaan Permuseuman.
- Mahyudin Al Mudra, 2006. Tepak sirih. Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu (BKPBM).
- Tim Peneliti Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997. Tradisi menginang: enam museum negeri provinsi kawasan Indonesia Timur, Irian Jaya, Maluku, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Permuseuman.
- Mahyudin Al Mudra, 2007. “Tradisi bersirih dan nilai budayanya”. [Online] Tersedia di http://melayuonline.com/ind/culture/dig/1703. [Diakses pada tanggal 25 Mei 2010].
- Lukman Sholihin, 2009. “Menginang atau menyirih”. [Online] Tersedia di http://melayuonline.com/ensiclopedy/?a=SnN1L2cveVRteDdaM2dl=&l=menginang-atau-menyirih. [Diakses pada tanggal 3-12-2013].
- [1] Dalam kebudayaan Banjar, tradisi makan sirih pinang dilakukan baik oleh remaja maupun orangtua. Untuk remaja, kinangan dapat berupa daun sirih, kapur, buah pinang, dan gambir. Untuk orangtua, kinangan sama dengan kinangan untuk remaja namun ditambah tembakau untuk menghasilkan efek nikotin (Triatno et al., 1994/1995)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar