Harga Rp.350.000
Kondisi Utuh
Pemberontakan PKI tanggal 30 September 1965 bukanlah
kali pertama bagi PKI. Sebelumnya,
pada tahun
1948 PKI sudah pernah mengadakan pemberontakan di Madiun. Pemberontakan
tersebut dipelopori oleh Amir Syarifuddin dan Muso. Tujuan dari pemberontakan
itu adalah untuk menghancurkan Negara RI dan menggantinya menjadi negara
komunis. Beruntunglah pada saat itu Muso dan Amir Syarifuddin berhasil
ditangkap dan kemudian ditembak mati sehingga pergerakan PKI dapat
dikendalikan.
Namun,
melalui
demokrasi terpimpin kiprah PKI kembali bersinar. Terlebih lagi dengan adanya
ajaran dari presiden Soekarno tentang Nasakom (Nasional, Agama, Komunis) yang sangat menguntungkan
PKI karena menempatkannya sebagai bagian yang sah dalam konstelasi politik
Indonesia. Bahkan, Presiden Soekarno mengangap aliansinya dengan PKI
menguntungkan sehingga PKI ditempatkan pada barisan terdepan dalam demokrasi
terpimpin. Hal ini hanya
akan membukakan jalan bagi PKI untuk melancarkan rencana-rencananya. Yang salah
satunya sudah terbukti adalah pemberontakan G-30-S-PKI yang dipimpin oleh
DN.Aidit. Pemberontakan itu bertujuan untuk menyingkirkan TNI-AD sekaligus
merebut kekuasaan pemerintahan.
Sebenarnya pada saat itu keburukan PKI sudah akan
terbongkar dengan ditemukannya dokumen-dokumen perjuangan PKI yang berjudul
”Resume Program dan Kegiatan PKI Dewasa ini”. Dalam dokumen tersebut nampak jelas disebutkan bahwa PKI akan melancarkan
perebutan kekuasaan. Akan tetapi Ir.Soekarno tidak mempercayai hal itu dan
tetap mendukung PKI.
Selain karena ingin merebut kekuasaan, ada juga factor lain yang membuat mereka melakukan
pemberontakan itu, yakni :
1.
Angkatan Darat menolak pembentukan Angkatan kelima
2.
Angkatan Darat menolak Nasakomisasi
Adanya nasakomisasi hanya akan menguntungkan kedudukan PKI untuk yang
kesekian kalinya. Ajaran nasakom, dilihat dari asal kata pembentukan katanya
saja sudah ganjil, yakni “nasional,
agama,
komunis”. Untuk kata nasional dan agama mungkin masih dapat kita cerna dengan
baik. Akan tetapi untuk kata
”komunis”
membuat kita berfikir dua kali untuk menyetujui ajaran ini. Apalagi setelah
banyaknya kerusuhan yang dilakukan partai ini hingga timbulnya korban jiwa.
Keputusan TNI-AD memang sangat tepat menolak nasakomisasi tersebut.
3.
Angkatan Darat menolak Poros Jakarta-Peking dan
konfrontasi dengan Malaysia.
Hal ini merupakan suatu langkah yang bijak menyangkut adanya Poros
Jakarta-Peking dan konfrontasi dengan Malaysia hanya akan membantu Cina
meluaskan semangat revolusi komunisnya di Asia Tenggara, dan akan merusak
hubungan baik dengan negara-negara tetangga.
2. PELAKSANAAN
GERAKAN 30 SEPTEMBER PKI 1965
Kamis, tanggal 30 September 1965 PKI telah sibuk
mempersiapkan segala sesuatunya untuk melancarkan serangan-serangan. Persaiapan
itu dipimpin oleh Kolonel Untung Sutopo
dihadiri
oleh Latief Suyono, Supono, Suradi,
Sukisno, Kuncoro,
Dul Arif, Syam dan Dono.
Malam
harinya, Aidit mengarahkan seluruh operasi dan menyiapkan penyelesaian politik
atau penggantian
kekuasaan setelah pembersihan para Jenderal dilakukan.
Sesuai dengan strategi dan rencana yang telah
ditetapkan, pasukan
pendukung G-30-S-PKI dibagi dalam tiga kelompok tugas, yaitu sebagai berikut;
1)
Komando
Penculikan dan Penyergapan dipimpin oleh Letnan Satu Dul Arif
2)
Komando
Penguasaan Kota dipimpin oleh Kapten Suradi
3)
Komando
Basis dipimpin oleh Mayor(udara) Gatot Sukresno
Komando penculikan dan penyergapan menggunakan nama
samara Pasopati, komando
penguasaan kota memakai nama samara Bimasakti, dan komando Basis memakai nama samaran Gatotkaca.
Pada tanggal 1 Oktober 1965 dini hari, pasukan G-30-S-PKI mulai bergerak dari Lubang Buaya dan
menyebar ke segenap penjuru Jakarta. PKI menduduki beberapa
instalasi vital di Ibukota seperti Studio RRI, pusat Telkom dan lain-lain.
Pasukan
Pasopati berhasil melakukan penculikan dan pembunuhan terhadap para perwira
TNI-AD yang menjadi target operasi. Enam Jenderal yang menjadi korban keganasan
G-30-S-PKI ialah sebagai berikut;
1.
Letnan Jenderal Ahmad Yani
2.
Mayjen Haryono Mas Tirtodarmo
3.
Mayjen R.Suprapto
4.
Mayjen Siswono Parman
5.
Brigjen Donald Izacus Panjaitan
6.
Brigjen Sutoyo Siswomiharjo
Sementara itu, Jenderal Abdul Haris Nasution berhasil
meloloskan diri dari penculikan. Akan tetapi, putrinya Ade Irma Suryani terluka
parah karena tembakan penculik dan akhirnya meninggal di rumah sakit.
Ajudan Nasution,
Letnan Satu
Pierre Andries Tedean ikut menjadi sasaran penculikan karena wajahnya mirip
dengan Jenderal Nasution. Ketika itu juga tertembak Brigadir Polisi Karel
Stasuit Tubun, pengawal
rumah Waperdam II Dr.J. Leimena yang
rumahnya berdampingan dengan rumah Nasution.
Lolosnya Nasution, membuat Aidit dan koleganya cemas
karena akan menimbulkan masalah besar. Untuk itu,Suparjo menyarankan agar
operasi dilakukan sekali lagi.
Saat berada
di istana, Suparjo melihat bahwa niliter di kota dalam keadaan bingung. Akan
tetapi, para pemimpin gerakan pada saat itu tidak melakukan apa-apa. Hal ini
menjadi salah satu penyebab kehancuran operasi mereka.
Sementara itu, sesudah PKI dengan G 30
S/PKI nya berhasil membunuh para pimpinan TNI AD, kemudian pimpinan G 30 S/PKI
mengumumkan sebuah dektrit melalui RRI yang telah berhasil pula dikuasai.
Dekrit tersebut diberinya nama kode Dekrit No 1 yang mengutarakan tentang
pembentukan apa yang mereka namakan Dewan Revolusi Indonesia di bawah pimpinan
Letkol Untung. Berdasarkan revolusi merupakan kekuasaan tertinggi, dekrit no 1
tersebut, maka Dewan Revolusi merupakan kekuasaan tertinggi, Dekrit no 2 dari G
30 S/PKI tentang penurunan dan kenaikan pangkat (semua pangkat diatas Letkol
diturunkan, sedang prajurit yang mendukung G 30 S/PKI dinaikan pangkatnya 1
atau 2 tingkat).
3. TUJUAN
GERAKAN 30
SEPTEMBER PKI 1965
Dari tindakan PKI
dengan
G30 S/PKI-nya, maka secara
garis besar dapat diutarakan :
1. Bahwa
Gerakan 30 September adalah perbuatan PKI dalam rangka usahanya untuk merebut
kekuasaan di negara Republik Indonesia dengan memperalat oknum ABRI sebagai
kekuatan fisiknya, untuk itu maka Gerakan 30 September telah dipersiapkan jauh
sebelumnya dan tidak pernah terlepas dari tujuan PKI untuk membentuk pemerintah
Komunis.
2. Bahwa
tujuan tetap komunis di Negara Non Komunis adalah merebut kekuasaan negara dan
mengkomuniskannya.
3. Usaha
tersebut dilakukan dalam jangka panjang dari generasi ke generasi secara berlanjut.
4. Selanjutnya
bahwa kegiatan yang dilakukan tidak pernah terlepas dari rangkaian kegiatan
komunisme internasional.
4. PENGARUH
GERAKAN 30
SEPTEMBER PKI 1965
TERHADAP KEHIDUPAN BANGSA INDONESIA
Setelah peristiwa G30S/PKI berakhir,
kondisi politik Indonesia masih belum
stabil.
Situasi Nasional sangat menyedihkan,
kehidupan ideologi nasional belum mapan.
Sementara
itu, kondisi politik
juga belum stabil karena sering terjadi konflik antar partai politik. Demokrasi Terpimpin justru mengarah ke sistem
pemerintahan diktator. Kehidupan ekonomi lebih
suram, sehingga kemelaratan
dan kekurangan makanan terjadi
dimana – mana.
Presiden Soekarno menyalahkan orang –
orang yang terlibat dalam perbuatan
keji yang berakhir dengan gugurnya Pahlawan Revolusi serta korban–korban
lainnya yang tidak berdosa.
Namun
Presiden Soekarno menyatakan gerakan semacam G30S/PKI dapat saja terajdi dalam suatu
revolusi. Sikap Soekarno ini diartikan lain oleh masyarakat, mereka menganggap Soekarno
membela PKI. Akibatnya, popularitas dan kewibawaan Presiden menurun di mata
Rakyat Indonesia.Demonstrasi besar – besaran terjadi pada tanggal 10 Januari 1966. Para demonstran ini mengajukan tiga tuntutan yang
terkenal dengan sebutan TRITURA (Tri Tuntutan Rakyat), meliputi sebagai berikut :
1. Pembubaran PKI
2. Pembersihan Kabinet Dwikora dari
unsur – unsur PKI.
3. Penurunan harga – harga (Perbaikan
Ekonomi).
Tindakan Pemerintah lainnya adalah
mengadakan reshuffle (perombakan)
Kabinet
Dwikora. Pembaharuan Kabinet Dwikora terjadi tanggal 21 Februari 1966 dan kemudian disebut dengan Kabinet Dwikora Yang
Disempurnakan. Mengingat
jumlah anggota mencapai hampir seratus orang, maka kabinet itu sering disebut dengan
Kabinet Seratus Menteri.
Menjelang pelantikan Kabinet Seratus Menteri pada tanggal 24
Februari 1966, KAMI melakukan aksi serentak. Dalam demonstrasi itu gugur
seorang mahasiswa Universitas Indonesia, Arief Rahman Hakim.
Peristiwa itu berpengaruh besar terhadap
maraknya gelombang aksi demonstrasi.
Di
Istana Bogor ketiga perwira tinggi
itu mengadakan pembicaraan langsung
dengan
Presiden yang didampingi oleh Dr. Subandrio, Dr. J. Leimena dan Dr. Chaerul Saleh. Sesuai dengan
kesimpulan pembicaraan,
maka ketuga perwira TNI – AD itu
bersama
dengan Komandan Resimen Cakrabirawa,
Brigjen
Sabur diperintahkan membuat
konsep surat perintah kepada Letjen Soeharto yang kemudian Surat Perintah itu lebih dikenal dengan sebutan
Surat Perintah 11 Maret (SUPERSEMAR). Isi pokoknya adalah
memerintahkan kepada
Letjen Soeharto atas nama Presiden untuk mengambil tindakan yang
dianggap perlu untuk terjaminnya keamanan dan ketertiban serta
kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi serta menjamin
keselamatan pribadi dan kewibawaan presiden. ( Salsabila Albarid.blogspot.Com )